IGGI (Intergovernmental
Group on Indonesia)
IGGI adalah kelompok internasional
yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1967 dan bertujuan untuk
mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia. Pertemuan pertama
IGGI diadakan di Amsterdam pada 20 Februari 1967. Saat itu Indonesia diwakili
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari 1967 hingga 1974 IGGI melakukan dua
kali pertemuan dalam setahun, namun sejak 1975 karena keadaan ekonomi membaik
maka pertemuan hanya dilaksanakan sekali dalam setahun.
Adapun anggota IGGI selain belanda
yaitu Bank Pembangunan Asia, UNDP, Dana Moneter Internasional, Bank Dunia,
Australia, Belgia, Kanada, Britania Raya, Perancis, Italia, Jepang, Jerman,
Selandia Baru, Amerika Serikat dan Swiss. Bantuan Awal IGGI yaitu 60% pendanaan
darinya dalam penyusunan Program Repelita (Rencana Lima Tahun Indonesia) tahun
1969-1973.
Maret 1992, pemerintah Indonesia
mengumumkan bahwa bantuan dana dari IGGI akan ditolak jika masih dikuasai oleh
belanda. Sehingga IGGI digantikan oleh CGI (Consultative Group on Indonesia).
Keputusan ini juga terjadi setelah Jan Pronk (ketua IGGI) yang mengecam
tindakan Indonesia akan pembunuhan para pengunjuk rasa di Timor Timur
(Pembantaian Santa Cruz atau Insiden Dili) pada tahun 1991.
IGGI menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia)
Maret 1992, pemerintah Indonesia
mengumumkan bahwa bantuan dana dari IGGI akan ditolak jika masih dikuasai oleh
belanda. Sehingga IGGI digantikan oleh CGI (Consultative Group on Indonesia).
Keputusan ini juga terjadi setelah Jan Pronk (ketua IGGI) yang mengecam
tindakan Indonesia akan pembunuhan para pengunjuk rasa di Timor Timur
(Pembantaian Santa Cruz atau Insiden Dili) pada tahun 1991. Inilah latar
belakang IGGI berubah menjadi CGI
CGI adalah kelanjutan/
penyempurnaan dari IGGI yang berpusat di Den Haag, Belanda dan dibentuk pada
tahun 1967. Anggota-anggota CGI yaitu
negara-negara yang sebelumnya menjadi anggota IGGI kecuali Belanda dan lembaga
Internasional yaitu Australia, Belgia, Kanada, Perancis, Italia, Jepang,
Jerman, Selandia Baru, Amerika Serikat, Swiss, Korea Selatan, Inggris, Denmark,
Austria, Spanyol, Finlandia, Swedia, Norwegia, Word Bank,UNDP, ADB, FAO, WHO,
UNFPA, WFP, UNHCR, UNESCO,UNIDO, ILO, IAEA, IFAD, NIB, UNICEF, IDB, Kuwaid Fund
dan Saudi Fund.
OPEC (Organization
of Petroleum Exporting Coutries)
Latar
Belakang dan Keanggotaan
OPEC adalah organisasi antar
pemerintah, berdiri pada tahun 1960 yang dipicu oleh keputusan sepihak dari
perusahaan minyak multinasional (The Seven Sisters) pada tahun 1959/1960 yang
menguasai industri minyak dan menetapkan harga di pasar internasional. Adapun
negara anggotanya yaitu Saudi Arabia, Iran, Irak, Venezuella, Aljazair,
Nigeria, Kuwait, Qatar, UAE, Libya dan Indonesia. Equadir dan Gabon juga
sebelumnya menjadi anggota namun keluar pada tahun 1992 dan 1994. Adapun negara
anggota ini merupakan negara eksportir minyak. Tahun 1970 OPEC ditempatkan
secara penuh dalam menetapkan pasar minyak internasional berdasarkan “The Tripoli-Teheran Agreement” antara
OPEC dan perusahaan swasta tersebut.
Tujuan
OPEC yaitu, (1) Memenuhi kebutuhan minyak dunia dengan saling menguntungkan
(2) Mengatur pemasaran minyak agar sesama anggota tidak terjadi perang harga
(3) menciptakan stabilitas harga minyak dunia.
Status
Keanggotaan Indonesia
Indonesia menjadi anggota OPEC pada
tahun 1962 dan ikut berperan aktif dalam penentuan arah dan kebijakan OPEC khususnya menstabilisasi harga dan produksi
minyak di pasar internasional. Pentingnya peran Indonesia di OPEC telah membawa
Indonesia pernah ditunjuk sebagai sekjen OPEC serta presiden Konferensi OPEC. Tahun
2004, menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia terpilih menjadi
Presiden dan Sekjen sementara OPEC.
Status keanggotaan Indonesia di
OPEC menjadi wacana perdebatan karena Indonesia menjadi net-importer atau
pengimpor minyak. Dalam hal ini Indonesia telah membentuk tim untuk mengkaji
hal tersebut dari sisi ekonomi dan sisi politik.
Hambatan
dan Peluang Indonesia di OPEC
Hambatan
secara ekonomi dari keanggotaan Indonesia di OPEC karena Indonesia
berkewajiban membayar iuran keanggotaan sebesar US$ 2 juta per tahun, dan juga
biaya untuk delegasi Indonesia dalam sidang-sidang OPEC. OPEC kemudian melihat
beberapa penurunan ekspor pada negara anggota OPEC termasuk Indonesia. Sehingga
Indonesia akan mengalami hambatan dalam produksinya sehingga diperkirakan akan
menjadi negara pengimpor minyak di masa yang akan datang.
Selain hambatan, namun ada
berbagai Keuntungan Politis Keanggotaan Indonesia di OPEC yaitu:
1.
Posisi Indonesia meningkat dalam proses
tawar-menawar dalam hubungan Internasional, dimana kapasitas menteri ESDM
sebagai sekjen OPEC sekaligus presiden konferensi OPEC tahun 2004 telah
memberikan posisi yang tinggi dan strategik dalam tawar menawar serta kontak
yang lebih luas dengan negara produsen minyak.
2.
Citra Indonesia di luar negeri meningkat. Hal ini
karena pemberitaan mengenai konferensi OPEC yang meluas dimana pejabat RI yang
menjabat sebagai Presiden Konferensi OPEC.
3.
Solidaritas antar negara berkembang meningkat.
4.
Lembaga keuangan OPEC (OPEC Found) telah memberikan
bantuan dana darurat kepada Indonesia sebesar 1,2 Juta Euro untuk rekonstruksi
dan rehabilitasi Aceh dan Sumatera Utara setelah dilanda gempa dan Tsunami.
5.
Indonesia berkesempatan menempatkan SDM nya untuk
bekerja di sekretariat OPEC
6.
Indonseia mendapatkan akses komunikasi, baik yang
bersifat terbuka dari sekretariat OPEC maupun rahasia tentang dinamika pasar.
APEC (Asia
Pacific Economic Cooperation)
Latar
Belakang dan Sejarah APEC
APEC adalah wadah kerja sama
bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik dalam bidang ekonomi. APEC berdiri pada
bulan November 1989 di Canberra, Australia. Dibentuk atas usulan Bob Hawke,
mantan perdana menteri Australia. Latar belakang terbentuknya APEC yaitu karena
situasi politik dan ekonomi global yang berkembang pesat, selain itu karena
adanya kekhawatiran akan gagalnya perundingan putaran Uruguay (WTO) khususnya
perdagangan bebas. Dimana jika gagal disepakati, makasituasi ekonomi dunia akan
penuh dengan proteksi dan hambatan.
Adapun dua faktor dominan yang
mendorong lahirnya APEC yaitu:
1.
Adanya kekhawatiran akan gagalnya perundingan
putaran Uruguay yang menyebabkan meningkatnya proteksionisme sehingga dapat
memunculkan kelompok perdagangan seperti pasar bebas Amerika Utara dan pasar
tunggal Eropa.
2.
Revolusi besar di bidang ekonomi dan politik yang
sedang terjadi dan sedang berlangsung di Eropa Timur dan Uni Soviet.
Keanggotaan
APEC
bersifat terbuka. Kegiatannya pun lebih menekakankan tentang kerja sama di
bidang ekonomi. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa APEC ingin membentuk sebuah
blok terbuka dengan keanggotaan yang bersifat suka rela dengan fokus pada
bidang ekonomi, bukan pada bidang politik.
Tahun 1993 para pemimpin negara
anggota APEC mulai menggelar dialog intensif, dan satu tahun setelah mendirikan
sekretariat (yaitu pada tahun 1992) APEC mulai dalam tahap pembentukan visi.
Pada pertemuan) di Blake Island, Seattle, Amerika Serikat yang pertama AELM
(APEC Economic Leaders Meeting ditetapkan visi bahwa kawasan yang saat itu
mewakili populasi 40% dari penduduk dunia dan Produk Nasional Bruto (GNP)
mencapai sekitar 55% GNP dunia siap memainkan peran penting dalam perekonomian
dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut,
APEC mendukung sistem perdagangan multilateral sepenuhnya dan yakin bahwa
perdagangan serta investasi bebas akan mampu membawa Asia Pasifik berperan
penting dalam perekonomian dunia. Sejak digelarnya AELM pula, setiap tahun
dilahirkan deklarasi atau kesepakatan bersamaantara para pemimpin negara
angoota APEC.
Pergeseran
Misi APEC
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi
APEC akhir-akhir ini tidak lagi terfokus pada isu-isu ekonomi melainkan
non-ekonomi seperti isu keamanan, politik dan militer. Hal ini menjadi bukti
nyata karena APEC didominasi oleh Amerika Serikat. Anggota APEC pun banyak
mengalami adanya pergeseran misi ini, sehingga sejumlah anggota APEC merasa
keberatan dengan hal ini, karena persoalan keamanan (non ekonomi) telah
mengurangi fokus pembahasan terhadap perekonomian dan isu perdagangan serta
penghidupan kembali sistem perdagangan multilateral yang gagal pada awal September
2003 di Meksiko.
OKI (Organisasi
Konferensi Islam)
Latar
Belakang dan Sejarah terbentuknya OKI
OKI adalah organisasi
negara-negara Islam dan negara-negara dengan penduduk yang mayoritas Islam.
Pada tanggal 21 Agustus 1969 Israel membakar Masjid Al Aqsa. Hal ini
menimbulkan reaksi dari pemimpin arab khususnya Raja Hasan II dari Maroko yang
menyerukan para pemimpin negara arab dan umat islam bersama-sama untuk menuntut
Israel agar bertanggung jawab. Hal ini langsung mendapat sambutan dari Raja
Faisal dari Arab Saudi dan Liga Arab.
Sehingga diadakan pertemuan pada tanggal 22-26 Agustus oleh para duta besar dan
menteri luar negeri Liga Arab dan memutuskan:
1.
Tindakan pembakaran Masjid Al Aqsa oleh Israel
merupakan kejahatan yang tidak bisa diterima.
2.
Tindakan Israel merongrong kesucian umat Islam dan
Nasrani dan mengecam keamanan Arab.
3.
Mendesak agar segera dilakukan KTT negara-negara
Islam.
Dengan hasil tersebut, maka
dibentuk Panitia Pelaksana KTT oleh Arab Saudi dan Maroko yang beranggotakan
Palestina, Somali, Malaysia dan Nigeria. Sehingga pada tanggal 22-25 September
1969 berlangsung KTT yang dihadiri oleh 28 negara dengan menghasilkan keputusan
di antaranya:
1.
Mengutuk pembakaran Masjid Al Aqsa oleh Israel.
2.
Menuntut pengembalian kota Yerussalem
3.
Menuntut Israel agar menarik pasukannya yang berada
di seluruh wilayah Arab
4.
Menetapkan pertemuan menteri luar negeri yang berlangsung
di Jeddah Arab Saudi, Maret 1970.